shahabatkeluarga

MEMBANGUN KEPERCAYAAN

Writen By : Aba Mumtaza

Kepercayaan dalam keluarga itu seperti akar bagi sebuah pohon. Ia tak terlihat, namun menopang segalanya. Tanpanya, batang akan rapuh, daun akan layu, dan dahan-dahan akan mudah patah diterpa angin. Dalam setiap rumah tangga, kepercayaan adalah fondasi. Ia yang mengikat hati, merajut cinta, dan menjaga ketenangan. Tetapi, seperti kaca yang bening, kepercayaan bisa retak jika tidak dijaga. Sekali pecah, sulit untuk kembali utuh. Lalu, bagaimana kita membangun kepercayaan agar keluarga tetap kokoh, meski diterpa ujian hidup?
Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)


Kejujuran adalah kunci dari setiap hubungan yang sehat. Tanpa kejujuran, rumah tangga hanya menjadi bangunan kosong tanpa makna. Seorang suami harus jujur kepada istrinya, begitu juga sebaliknya. Orang tua harus jujur kepada anak-anaknya, agar mereka belajar arti ketulusan sejak dini.
Bukankah kita sering mendengar kisah Nabi Muhammad ﷺ yang dikenal sebagai Al-Amin, Sosok yang terpercaya? Bukan karena harta, bukan karena kedudukan, tetapi karena kejujurannya. Itulah yang menjadikan beliau teladan bagi umat manusia.
Jika dalam keluarga ada dusta, perlahan kepercayaan akan terkikis. Seperti air yang menetes di atas batu, lama-kelamaan akan melubanginya. Maka, jangan biarkan kebohongan kecil tumbuh menjadi jurang pemisah di antara kita.


Kepercayaan Tumbuh dengan Konsistensi. Percayakah kita bahwa anak-anak lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar? Jika seorang ayah berjanji akan pulang tepat waktu, tetapi selalu ingkar, maka kepercayaan anak akan memudar. Jika seorang ibu berkata, “Ibu selalu ada untukmu,” tetapi sibuk dengan dunianya sendiri, maka anak akan merasa jauh.
Allah SWT mengingatkan kita tentang pentingnya menepati janji:
“Dan tepatilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 34)
Jadilah sosok yang bisa diandalkan. Jika berkata, buktikan. Jika berjanji, tepati. Kepercayaan bukan sekadar kata-kata, tetapi bukti nyata dalam setiap tindakan kita.
Tidak ada keluarga yang sempurna. Kadang ada salah paham, ada perbedaan, ada luka yang membuat hati tersentak. Tetapi, justru di situlah kepercayaan diuji. Apakah kita memilih untuk tetap percaya, atau membiarkan prasangka menguasai?


Lihatlah bagaimana Nabi Ya’qub as tetap percaya bahwa suatu hari, ia akan bertemu kembali dengan putranya, Nabi Yusuf as. Bertahun-tahun ia menunggu dalam sabar dan doa. Keyakinannya tidak goyah, meski kenyataan terlihat begitu pahit.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku…” (QS. Yusuf: 86)
Maka, dalam menghadapi ujian kepercayaan dalam keluarga, bersabarlah. Jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu yang belum jelas. Jangan mudah terpengaruh oleh bisikan prasangka. Sebab, bisa jadi masalahnya bukan pada pasangan atau anak-anak kita, tetapi pada hati kita sendiri yang kurang bersabar dan kurang husnudzon (berbaik sangka).


Kepercayaan bukan sekadar soal tidak berbohong atau menepati janji. Tetapi juga soal menghadirkan rasa aman dan nyaman di hati satu sama lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya terhadap keluarganya.” (HR. Tirmidzi)
Berikan kehangatan dalam keluarga. Jangan biarkan rumah kita terasa dingin, meski dindingnya berdiri megah. Jangan biarkan pasangan atau anak-anak merasa sendirian, meski kita tinggal serumah. Sentuh mereka dengan kasih sayang, karena cinta yang dirasakan akan menumbuhkan kepercayaan yang mendalam.