Oleh : Cahyadi Takariawan
“The relationship between money and family strengths is tenuous” –John Defrain, Strong Family, 2009.
Mari kita simak penuturan seorang ibu rumah tangga, Nuri (29 tahun) yang dimuat dalam majalah Kartini nomor 2084. Suaminya, sebut saja Eko namanya, adalah seorang pengusaha yang sukses.
Usahanya terus berkembang sehingga hartanya mengalir lancar. Kondisi itu tentu saja telah memberikan kebahagiaan bagi keluarga dengan dua anak tersebut, mengingat Nuri dulu berasal dari keluarga yang sederhana dengan hidup yang pas-pasan.
Awal pernikahan mereka demikian menyenangkan, karena Eko amat penyayang dan perhatian terhadap keluarga. Dengan kondisi hidup yang berkecukupan itu, Nuri memenuhi semua kebutuhan keluarganya, baik ayah, ibu, dan adik-adiknya.
Kebahagiaan Nuri semakin bertambah karena Eko mendukung untuk senantiasa membantu kesulitan ekonomi keluarga ayahnya tersebut.
Akan tetapi, kekayaan harta memang tidak selamanya membuahkan kebahagiaan. Cobaan bermula justru karena Eko semakin memiliki harta yang banyak dari usahanya. Dengan uang yang melimpah, ia merasa bisa melakukan apa saja.
Sikapnya tiba-tiba berubah dengan drastis. “Ia yang tadinya perhatian dan penyayang kepadaku dan anak-anak, kini tiba-tiba menjadi kurang peduli dan sering sekali meninggalkan kami sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya,” ungkap Nuri.
“Karena suamiku semakin sering pergi dan semakin sering tidak pulang, aku menjadi tidak percaya. Kusuruh seorang adikku mengikuti perjalanan suamiku. Ternyata temuan adikku sangat menyakitkan hati,” lanjut Nuri.

Ternyata, Eko memiliki wanita simpanan yang tidak dinikahinya. Wanita itu ”dipelihara” Eko tentu saja tanpa sepengetahuan Nuri, dan ditempatkan di sebuah kota tempatnya mengembangkan bisnis. Bukan itu saja, ternyata Eko juga hobi berselingkuh dengan perempuan panggilan.
Ketika hal itu ditanyakan secara langsung untuk klarifikasi, justru Eko marah besar. Eko mulai mengungkit-ungkit jasanya selama ini. “Kenapa adikmu harus ikut campur dan berpihak kepadamu? Apa dia lupa, siapa yang membiayainya selama ini?” begitu ungkit Eko.
“Kita ini suami istri, sebuah keluarga dan memiliki anak-anak. Papa tidak pantas bersikap demikian,” kata Nuri.
“Apa yang tidak pantas? Aku laki-laki dan aku punya uang untuk berbuat semauku,” jawab Eko.
Kisah di atas menandakan sikap hidup yang tidak positif ketika mendapatkan banyak kekayaan. Harta yang melimpah, tanpa landasan iman yang kuat, justru membuahkan petaka. Ia merasa bisa melakukan apa pun untuk kesenangan dirinya dengan harta yang melimpah tersebut.
Semua keinginan syahwatnya diperturutkan, selain memang ada pengaruh dari lingkungan kerja. Dampaknya negatif bagi diri dan keluarganya. Konflik mulai mendera kehidupan keluarga mereka, justru setelah mereka bergelimang dengan harta.
Dengan arogansi lantaran merasa menguasai harta, Eko justru bersikap menyakiti istrinya, “Aku laki-laki dan aku punya uang untuk berbuat semauku.”
Pada titik ini, Nuri pasti akan lebih memilih ”Eko yang dulu”, Eko yang tekun dan bekerja keras untuk mengembangkan usahanya. Uangnya tidak terlalu banyak waktu itu, namun justru keluarga mereka sangat bahagia. Eko menjadi suami yang sangat perhatian dengan isteri dan anak-anaknya.
Namun kondisi itu hilang bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat setelah usaha Eko semakin sukses dan semakin banyak mendatangkan keuntungan.